Halaman

Ratusan pelaksana PNPM Mandiri jadi caleg dan tim sukses



Merdeka.com - Setelah sepekan melakukan penelusuran, Panitia Pengawas Pemilu Jawa Tengah menemukan ratusan pelaksana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang saat ini masuk menjadi calon legislatif (caleg) dan masuk dalam daftar calon tetap (DPT). Ratusan pelaku ini tersebar di 24 kabupaten kota di Jawa Tengah.

Kabupaten tersebut yakni Wonosobo (10 orang), Demak (2 orang), Kabupaten Semarang (13 orang), Purbalingga (6 orang), Banyumas (4 orang), Cilacap (10 orang), Grobogan (14 orang), Karanganyar (10 orang), Kebumen (14 orang), Kendal (3 orang), Kudus (1 orang), Rembang (6 orang), Sragen (2 orang), Kabupaten Tegal (8 orang), Blora (14 orang), Brebes (15 orang), Purworejo (5 orang), Jepara (3 orang), Temanggung (1 orang), Batang (5 orang), Kabupaten Magelang (18 orang), Boyolali (6 orang), Sukoharjo (6 orang) dan Klaten (12 orang).

"Kami telah mendapatkan data, bahwa ada 187 orang pelaku masyarakat PNPM Mandiri yang tersebar di 24 kabupaten kota di Jawa Tengah yang saat ini sudah masuk dalam daftar calon tetap di Pemilu 2014," ujar Koordinator Divisi Pengawasan dan Humas Panwaslu Jawa Tengah Teguh Purnomo dalam siaran pers tertulisnya kepada merdeka.com Rabu(26/11).

Teguh menjelaskan, bahwa para pelaksana PNPM Mandiri tersebut masuk jadi Caleg PDIP, PPP, PKB, PAN, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Patai Hanura.

"Yang harus diawasi adalah seluruh pelaksana PNPM Mandiri yaitu aparat pemerintah daerah, fasilitator, konsultan, dan pengurus unit-unit kerja kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat di bawah program PNPM misalnya UPK, BP-UPK, BKM, TKP dan lain-lainnya. Mereka semua dilarang menggunakan kegiatan, aset, fasilitas dan atribut PNPM Mandiri dalam kegiatan kampanye, pemberian dukungan atau pencalonan dalam Pemilu Legislatif, Presiden atau Pilkada baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota," jelasnya.
Panwaslu Jateng juga menyampaikan, bahwa sesuai dengan surat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Nomor: B.2013/KMK/D.VII/X/2013 tertanggal 22 Oktober 2013, dan Surat Bawaslu Republik Indonesia Nomor 807/ Bawaslu/XI/ 2013 tertanggal 19 November 2013.

"Larangan ini juga berlaku bagi Pelaksana PNPM Mandiri yang bertindak sebagai Tim Sukses dan atau pendukung Caleg, Capres dan Cakada," ungkapnya.

Teguh menambahkan bagi para pelaksana PNPM Mandiri yang namanya telah ditetapkan dalam daftar calon tetap ( DCT ) Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD atau Pemilukada diharuskan untuk mengundurkan diri dari kedudukan dan posisinya sebagai pelaksana PNPM Mandiri.

"Kami tegaskan, bahwa kepada seluruh jajaran pengawas di Jawa Tengah dari provinsi sampai tingkat desa akan melakukan koordinasi secara intensif dengan KPU kabupaten/kota dan instansi terkait di pemerintahan daerah dalam rangka pengawasan Pemilu, dan jika diperlukan, pengawas Pemilu dapat mengundang klarifikasi ke kantor pengawas, selanjutnya dilakukan pengkajian, dan hasilnya sebagai bahan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait," pungkasnya.
[hhw]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Awal Mula Kedatangan Transmigran Jawa ke Lampung


Rabu, 27 November 2013 11:58 wib


Para kolonis diangkut dari Telukbetung menggunakan KA (Dok: KITVL Belanda)
BANDARLAMPUNG - Di masa lalu, Lampung termasuk salah satu provinsi
yang dijadikan tujuan perpindahan penduduk dari Jawa. Gelombang kedatangan
penduduk dimulai pada 1905-an oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dinamakan
kolonisasi.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Lampung (Unila), Wakidi, menjelaskan, gelombang pertama
kolonisasi itu berasal dari Bagelan yang berada di Keresidenan Kedu (sekarang
kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah).
Menurut Wakidi, ihwal kolonisasi berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di
Pulau Jawa. Pada awal abad XX, Pulau Jawa terbagi menjadi 21 karesidenan
dengan kepadatan penduduk rata-rata 231 jiwa setiap kilometer per segi.
Sedangkan, rata-rata kepadatan penduduk Kedu telah mencapai 425 jiwa
per kilometer per segi.

”Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan
pemindahan penduduk di dalam Karesidenan Kedu pada November 1905.
Sekira 155 kepala keluarga diberangkatkan ke Keresidenan Lampung.
Tetapi hari apa dan tanggal berapa,itu yang masih menjadi tanda tanya.
Beberapa buletin Belanda cuma menyebutkan bulannya saja," jelasnya.

Kolonisasi dari Kedu hingga Lampung dipimpin langsung Asisten Residen
Banyumas, HG Heyting. Ia juga merupakan pejabat Pemerintahan Hindia
Belanda. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans) Provinsi Lampung, 155 KK yang mengikuti kolonisasi
terdiri dari 815 jiwa.

Waktu perjalanan menuju Lampung tidak sebentar. Sebab, sarana maupun
teknologi transportasi saat itu masih terbatas. Rombongan memulai perjalanan
menumpang kereta api menuju Batavia (sekarang Jakarta) kemudian menempuh
jalur laut dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Telukbetung menggunakan
kapal uap.

”Dulu itu Pelabuhan Lampung di Telukbetung. Lokasi sekarang di Gudang Lelang,
Sukaraja. Pelabuhan Panjang yang ada sekarang baru dibuka tahun 1912,” terangnya.

Sebenarnya, rombongan kolonisasi sempat menolak dipindah ke Lampung. Alasannya,
saat itu muncul pemberitaan miring di media massa tentang provinsi yang berada di
ujung selatan Sumatera itu.

”Dulu (sebelum berangkat), mereka takut dimakan gajah dan harimau. Dua binatang
itu terkenal karena pemberitaan buletin-buletin Belanda. Kalau datang ke Lampung,
bisa dimakan gajah sama harimau,” ucap pria yang tesisnya mengulas tentang kolonisasi itu.

Untuk membuat nyaman, para kolonis mengusulkan agar tempat tinggal baru mereka
dinamakan dengan nama wilayah yang sebelumnya mereka tinggali di Jawa. Usul itu pun
disetujui Pemerintah Hindia Belanda.

”Oleh sebab itu, banyak nama daerah di Lampung yang sama dengan nama daerah di
Pulau Jawa. Dari situ bisa kita perkirakan asal muasal penduduk di situ, misalnya Pekalongan,
Way Jepara, ataupun Bagelan," terangnya.

Burhanuddin, salah seorang pengurus Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL),
mengatakan, kedatangan rombongan kolonisasi ke wilayah-wilayah yang sepi penduduk
di Lampung kala sedikit banyak menyebabkan terjadinya percampuran budaya.

“Pada dasarnya karakternya memang berbeda. Namun, tidak menjadi masalah yang
berarti," katanya.

Perkenalan dengan budaya baru, tambah Burhanuddin, justru makin memperkaya budaya
lokal Lampung sendiri. Akulturasi budaya terjadi dengan sendirinya.

“Secara pribadi, saya bisa berbahasa Jawa, bahkan yang halus sekali pun. Begitu juga
dengan orang Lampung lainnya. Semua terjadi begitu saja karena pergaulan,” tuturnya.
(ton)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Surplus Golongan, Defisit Karya



Rabu, 27 November 2013 | 02:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Arya Budi, peneliti Pol-Tracking Institute

Sebagai partai mapan dengan elektabilitas konstan dua digit, dinamika internal Golkar dalam rapat pimpinan nasional yang lalu akan berpengaruh terhadap dinamika politik nasional. Paling tidak, ada empat kekuatan yang terekam media di dalam lingkup internal Golkar: Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Agung Laksono.

Dinamika ini bukan hanya terkait dengan pencalonan presiden oleh Golkar yang bisa berpotensi ganda-penguatan atau justru pelemahan Ketua Umum-tapi juga dengan peta sikap politik Golkar terhadap kandidat calon presiden yang maju pada 2014. Kekuatan politik Golkar menjadi penting apakah mendukung atau memilih beroposisi. Walaupun, dalam sejarah sikap partai, Golkar hampir selalu memilih "ikut" duduk di Istana daripada hanya kuat di parlemen.

Kini, apakah Golkar menciptakan jalannya sendiri melalui pengajuan Ical sebagai calon presiden yang dideklarasikan pada pertengahan 2012 lalu. Peta golongan faksi-faksi yang bermunculan di media jelas semakin mendestruksi Golkar setelah rapimnas, jika tidak ada akomodasi kepentingan. Atau, Golkar semakin terlelap dalam glorifikasi dirinya sebagai partai paling tua dan mapan.

Di sisi lain, di luar problem internal yang selalu bersifat turbulen dan terus menjadi duri dalam daging Golkar, lawan Golkar saat ini sebenarnya adalah "Partai" Jokowi. Yaitu, para pemilih mengambang, pemilih apatis, dan undecided voters yang mengerubungi Jokowi secara sukarela.

Dalam banyak pengalaman negara demokratis, partisipasi politik dalam pemilu sangat ditentukan oleh hadirnya promising candidate dengan karakter kebijakan yang dimiliki (Ashenfleter dan Kelley, 1975). Kandidat yang mempunyai portofolio kebijakan tentu akan menciptakan atensi di tengah apatisme publik terhadap proses elektoral. Di sisi lain, personalitas Jokowi seolah menjadi oasis di tengah kering gersangnya kepemimpinan otentik. Singkatnya, Jokowi menjadi pemobilisasi pemilih untuk menggiring pemilih hingga PDIP memperoleh suara yang cukup (threshold 20 persen) dalam pencalonan Jokowi sebagai presiden. Lawan Golkar-dan partai politik peserta pemilu lainnya-adalah para promising candidate yang juga kader partai seperti Jokowi saat ini.

Pada sisinya sebagai sebuah organisasi partai, Golkar telah bergerak dari sebuah partai hegemonik yang berorientasi untuk menjaga program pembangunan negara (developmentalist) ke sebuah partai yang berorientasi pasar (baca: pemilih) yang disebut sebagai market-oriented party, bahkan sejak akhir kepemimpinan Harmoko (Rully Chairul Azwar, 2009). Artinya, semua program, sikap politik, dan maneuver Golkar adalah untuk menyasar atensi pemilih, bukan lagi soal realisasi AD/ART Bab V tentang Doktrin, Ikrar, dan Paradigma Golkar. Artinya, lepas dari konsepsi ideal pelembagaan partai apakah menerjemahkan ideologi ke dalam program atau sikap politik lebih dulu, pilihan Golkar untuk menerjemahkan aspirasi/tuntutan publik masih belum mampu menarik atensi publik dibandingkan dengan kekuatan hadirnya promising candidate dalam Pemilu 2014.

Sebagai refleksi perbandingan, karakter kepartaian Indonesia, terutama Golkar, bisa melihat pengalaman di Meksiko. Pemilu presiden Meksiko 2012 kembali dimenangi oleh Enrique Peña Nieto dari Partido Revolucionario Institucional (PRI). PRI adalah partai yang menguasai Meksiko di bawa model kepemimpinan diktator selama beberapa dekade (1929-2000), partai yang awalnya dihukum rakyat pada pemilu tahun 2000 karena memerintah dengan tangan besi. Penjelasan atas kemenangan PRI di Meksiko ini adalah dua hal: transformasi PRI sebagai organisasi partai dan persepsi negatif publik terhadap keamanan serta pembangunan Meksiko di bawah kepemimpinan Partido Acción Nacional (PAN). PAN hadir pada 1938 sebagai partai oposisi melawan PRI yang monolitik hingga akhirnya Vicente Fox asal PAN memenangi pilpres Meksiko pada 2000.

Singkat cerita, Golkar bisa saja meniru PRI di Meksiko dengan transformasi ganda. Pertama, Golkar perlu mentransformasikan pesan-pesan platform pembangunan atau developmentalisme yang menjadi kosakata paranoid sejak kejatuhan Soeharto seperti transformasi GBHN, Repelita, dan lain-lain dalam model program-program yang lebih kompatibel dengan tuntutan akselerasi pembangunan dan demokratisasi saat ini.

Kedua, Golkar harus mentransformasikan partai sebagai sebuah organisasi politik yang demokratis, terbuka, dan akuntabel sehingga paling tidak bisa meminimalkan pesan koruptif dan transaksional yang melekat di Golkar. Paradigma baru yang digagas era Akbar Tandjung untuk beradaptasi dengan tuntutan demokratisasi setelah 1998 belum cukup untuk mentransformasikan Golkar sebagai sebuah organisasi partai.

Jika Golkar hanya memanfaatkan sisa-sisa basis pemilih Orde Baru, jejaring kader para patron Golkar di kino-kino dan organisasi sektoral, serta berusaha mengais para undecided voters melalui mekanisme transaksional, maka Golkar tak akan lebih dari sebuah golongan, dan gagal menjadi partai transformatif. Atau, surplus golongan namun defisit karya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Puluhan Ribu Warga Depok di Bawah Garis Kemiskinan



TEMPO.CO, Depok--Setiap tahun, pemerintah Kota Depok terus menekan angka kemiskinan. Namun sampai saat ini, berdasarkan data BPLS (Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial) jumlah orang miskin di Depok tahun 2011 sebanyak 53.252 jiwa yang tersebar di 11 kecamatan.

"Yang paling banyak warga miskin ada di Tapos dan Pancoran Mas," kata Kepala Bagian Perencanaan Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappeda) Djatmiko kepada wartawan, Kamis, 24 Januari 2012.

Berurutan warga miskin terbanyak per Kecamatan adalah di Kecamatan Tapos sebanyak 8.945 jiwa, Pancoran Mas sebanyak 7.370 jiwa, dan Bojongsari 3.829 jiwa. Sementara Kecamatan yang paling sedikit warga miskinnya adalah Cinere, yaitu 1.768 jiwa. "Daerah elit Cinere, merupakan kecamatan paling sedikit warga miskin," kata dia.

Djatmiko mengatakan, jumlah kemiskinan itu berdasarkan 14 kategori penilaian. Diantaranya, makan dua kali sehari, rumah dari bilik, tidak memiliki jamban, dan dari segi pendapatan per kapitalnya. Sementara program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah Depok saat ini adalah dengan perbaikan Rumah Tidak Layah Huni (RTLH), penuntasan gizi buruk, dan pelatihan tenaga kerja. "Karena itu kami terus berkomitmen mendongkrak pendapatan asli daerah," kata dia.

Pemerintah Kota Depok telah menganggarkan 12,01 persen dari 1,9 triliun APBD 2013 untuk program penanggulan kemiskinan. Kepala Sub Tata Usaha Badan Pusat Statistik Kota Depok, Bambang Pamungkas mengatakan jumlah kemiskinan di Kota Depok itu sudah mentok dan sulit diatasi. Dengan presentasi itu, Depok adalah kota paling sedikit warga miskin kedua di Jawa Barat. "Jumlah itu sudah tergolong kemiskinan natural, udah dalam kategori susah (ditangani). Karena ini kan (warga) miskin kota," katanya.

Menurut dia, dibandingkan daerah-daerah lain yang angka kemiskinannya masih mencapai 10 pesen, Depok sudah tergolong bagus dalam kesejahteraan masyarakatnya. "Itu menandakan rata-rata orang Depok kesejahteraannya cukup," katanya. Saat ini, kata Bambang, Depok lebih fokus pada masyarakat rawan miskin. Bagaimana warga yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan ini tertolong. "Agar tidak jatuh menjadi miskin," kata dia.

Bambang mengatakan, secara teknis perhatian itu dilakukan dengan melakukan sensus kembali pada mereka yang telah terdata, seperti mengecek pekerjaan mereka, pekerjaan mereka berapa, dan apa saja keahliannya. Jika memungkinkan pemerintah akan menyediakan berbagai cara supaya mereka bisa bekerja dan tidak terjerembap di bawah garis kemiskinan. "Yang sedikit di atas garis kemiskinan ini yang perlu diperhatikan," kata dia.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Mimpi Indonesia


Selasa, 26 November 2013 | 02:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wahyu Dhyatmika, wahyu_komang@tempo.co.id


Sejak lima tahun terakhir, sejumlah lembaga beramai-ramai membuat berbagai skenario kebangkitan Indonesia sebagai negara maju pada 2020, 2030, bahkan 2050. Menurut berbagai prediksi itu, jika pertumbuhan ekonomi negeri ini konsisten dalam trennya sekarang, dalam 10-20 tahun Indonesia akan menjadi negara yang kekuatan ekonominya masuk sepuluh besar dunia.



Sebagai sebuah proyeksi, berbagai perkiraan itu sah saja. Apalagi jika dimaksudkan sebagai pemacu agar orang Indonesia bekerja lebih keras demi mewujudkan era keemasan itu. Tapi ada satu hal yang menurut saya agak mengganggu. Semua proyeksi itu cenderung menganggap model pembangunan kita saat ini sudah ideal.



Padahal model yang ada sekarang menyisakan banyak pertanyaan menyangkut kualitas pembangunan: siapa yang paling diuntungkan dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kita? Apakah meningkatnya nilai produk domestik bruto (GDP) dan pendapatan rata-rata per kapita penduduk Indonesia, misalnya, menjamin berkurangnya kesenjangan sosial?



Apa gunanya pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-8 persen per tahun jika produk utama Indonesia masih tak beranjak dari komoditas sumber daya alam, seperti kelapa sawit dan batu bara? Apakah kita masih punya masa depan untuk bersaing secara global jika telepon pintar, komputer, tablet, mobil, dan semua perangkat teknologi canggih yang kita pergunakan sehari-hari masih diimpor dari negara lain?



Kebetulan bulan lalu saya menghadiri diskusi yang menghadirkan pembicara yang amat menarik soal topik ini: Gindo Tampubolon, peneliti dari Institute for Social Change, di University of Manchester, Inggris. Dia punya teori menarik soal tingkat kemajuan sebuah negara yang bisa menjawab sederet pertanyaan di atas.



Gindo membuat sebuah matriks yang membandingkan perkembangan riset dan kemajuan inovasi sejumlah negara Asia. Secara spesifik, dia menelisik riset di bidang teknologi komunikasi dan informasi, nanoteknologi, bioteknologi, dan energi terbarukan. Empat bidang ilmu itu dipilih karena berpotensi menyediakan jawaban untuk krisis global akibat perubahan iklim yang akan mengubah wajah dunia kita. Negara yang unggul di empat area ini punya potensi mendominasi percaturan internasional.



Indikator keunggulannya simpel saja: berapa banyak hak paten yang didaftarkan oleh negara-negara di Asia untuk empat bidang riset tadi dan bagaimana kualitas paten tersebut? Pendaftaran paten itu hanya akan dihitung jika dilakukan di negara yang standardisasinya diakui, yakni negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Sedangkan kualitas dinilai dari berapa banyak lembaga yang memanfaatkan paten itu (bisa membeli, mengutip, mengembangkan, dan lain-lain).



Hasilnya tak terlalu mengejutkan. Tiga negara selalu ada di posisi teratas: Jepang, Cina, dan Korea. Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin ini juga tak terlalu mengejutkan: pada matriks yang dibuat Gindo, posisi Indonesia nyaris tak terbaca. Riset dan inovasi kita di empat bidang ilmu yang bakal mengubah dunia di masa depan itu, amat jauh tertinggal dibanding tetangga-tetangga kita di Asia.



Penyebabnya terutama rendahnya insentif untuk melakukan riset di sini. Kalau begini, rasanya mimpi Indonesia 2030 jangan-jangan akan berhenti sebatas mimpi saja.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pendidikan Berkualitas untuk Indonesia


Senin, 17 Juni 2013 | 11:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Target Pembangunan Milenium (MDGs), yang ditetapkan pada 2000 oleh 193 negara dan 23 organisasi internasional, akan mencapai tenggatnya dua tahun lagi. Ada delapan target pembangunan yang menjadi kesepakatan global, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mengurangi separuh angka kemiskinan di dunia.

Delapan target tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; menurunkan angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain; kelestarian lingkungan hidup; serta membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Mayoritas negara berkomitmen memenuhi kedelapan target tersebut pada 2015. Artinya, MDGs segera berakhir dan negara-negara di seluruh dunia hanya memiliki dua setengah tahun lagi untuk memenuhi keseluruhan target tersebut. Beberapa kritik muncul terkait dengan delapan target tersebut, yang kemudian diturunkan menjadi beberapa indikator keberhasilan, misalnya pertumbuhan yang muncul bukanlah sekadar angka statistik. Contohnya adalah kematian anak.

Pada 2011, hampir 7 juta anak-anak meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka. Angka ini turun drastis dari 12 juta pada dua dekade lalu. Namun jumlah tersebut masih cukup tinggi untuk disimpulkan bahwa pembangunan telah terjadi dan berjalan di koridornya. Contoh lain adalah kesetaraan akses untuk pendidikan. Di suatu daerah, tercatat lebih dari 90 persen anak-anak usia sekolah telah terdaftar di sekolah dasar. Namun, di daerah lain, target MDGs
itu belum berhasil.

Upaya Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memasukkan target MDGs sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004- 2009 dan 2010-2014, serta Rencana Kerja Program Tahunan. Laporan pencapaian MDGs pada 2010, yang dikeluarkan oleh Bappenas, menyebutkan bahwa Indonesia telah mencapai beberapa target MDGs, satu di antaranya adalah angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar mendekati 100 persen dan angka melek huruf melebihi 99,47 persen pada 2009.

Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak Indonesia telah mengenyam pendidikan dasar. Namun bukan berarti mereka telah mendapatkan pendidikan berkualitas. Jika dilihat dari peringkat Indonesia untuk Programme for International Students Assessment (PISA)—sebuah program yang mengevaluasi kompetensi anak berumur 15 tahun dalam hal membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan setiap 3 tahun—kita masih jauh tertinggal. Pada 2009, Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara.

Di semua negara, kemiskinan mengantarkan stres kronis untuk anak-anak dan keluarganya. Sebagai contoh, di Indonesia bagian timur, tingkat kemiskinan dua kali lipat lebih dari rata-rata angka nasional (13,33 persen), yaitu Papua 36,80 persen, Papua Barat 34,88 persen, dan Maluku 27,74 persen. Mereka juga memiliki persentase yang lebih rendah untuk partisipasi murni dalam pendidikan dasar.

Ketimpangan pembangunan

Permasalahan pendidikan di Indonesia bukan sekadar jumlah anak yang masuk sekolah dan jumlah anak yang bebas dari buta huruf. Yang lebih penting adalah berkaitan dengan pendidikan yang merata dan berkualitas. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan jumlah anak yang ikut program Wajib Belajar 9 Tahun, salah satunya adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari total alokasi BOS untuk 2013, yaitu Rp 23 miliar lebih, sebagian besar (93 persen) ditujukan untuk sekolah di daerah tidak terpencil. Selain itu, penghitungan pemberian BOS didasari jumlah siswa. Jadi, semakin banyak siswa, semakin besar dana didapat. Lalu, bagaimana dengan sekolah di daerah terpencil dengan jumlah siswa yang sedikit? Inilah yang disebut sebagai ketimpangan pembangunan.

Pemerintah juga berupaya untuk melakukan standardisasi pendidikan nasional sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, serta pembiayaan, dan diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35. Salah satunya dengan ujian nasional, yang pada implementasinya mendapat banyak kritik, terutama terkait dengan negasi proses belajar, kualitas tenaga pengajar, serta infrastruktur/fasilitas belajar-mengajar yang berbeda dari setiap wilayah di Indonesia. Tidak aneh jika pada akhirnya ujian nasional juga dijadikan alat untuk mendongkrak prestise sekolah dan berujung pada mencoba segala cara untuk mendapatkan persentase kelulusan tinggi.

Komitmen pemerintah

Indonesia, melalui kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memainkan peran yang sangat penting dalam pembuatan agenda pembangunan setelah 2015. Presiden Yudhoyono adalah satu di antara tiga pemimpin anggota Panel Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa berjumlah 27 negara, bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Sejak September 2012 sampai Mei 2013, panel ini bertugas memberi rekomendasi kepada Sekjen PBB dalam agenda pembangunan global setelah 2015.

Panel Tingkat Tinggi telah menyampaikan lima agenda transformatif serta 12 target dan 54 indikator pembangunan global yang berkelanjutan. Salah satu targetnya adalah penyediaan pendidikan berkualitas dan pembelajaran seumur hidup. Hal ini tentunya membutuhkan keseriusan pemerintah tiap negara untuk menjamin warganya mendapatkan akses belajar tanpa batasan kelas dan usia, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membaca, menulis, dan menghitung sebagai standar minimum sebuah proses pembelajaran.

Tiba saatnya negara-negara anggota PBB menjadikan agenda ini sebagai agenda serius sampai 2030. Komitmen dari para pemimpin negara diperlukan untuk memastikan bahwa agenda tersebut memberi manfaat kepada semua warga negara, bahkan yang paling sulit dijangkau, misalnya anak-anak di daerah paling terpencil dan miskin. *

Ratna Hadikusumah, pegiat lembaga swadaya masyarakat dan pemerhat
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Arti Pembangunan bagi SBY


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ANTARA/Andika Wahyu
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan segala bentuk pembangunan yang dijalankan harus bisa membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat. "Harus bisa membantu pengentasan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat untuk memerangi kemiskinan," kata SBY saat meresmikan The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) Southeast Asia, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa, 25 Juni 2013.

Selain itu, SBY menambahkan, segala model pembangunan harus bisa memajukan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Pembangunan mesti membantu sebuah negara dalam hal pertumbuhan ekonomi. "Harus membantu menciptakan sebuah lingkungan di mana masyarakat bisa mengembangkan potensi mereka serta melakukan hal yang produktif dan kreatif sesuai ketertarikan mereka masing-masing," ujar SBY.
SBY mengatakan pembangunan harus inklusif yang berarti mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Kondisi ini dipercaya dapat memberi ruang bagi masyarakat untuk mengakses semua kebutuhan dasar. Walau demikian, menurut Presiden, pembangunan tak semestinya berakhir pada pertumbuhan ekonomi. Sebab, pembangunan harus dijalankan secara berkelanjutan untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan.
"Ini adalah apa yang saya sebut sebagai sustainable growth with equity," kata SBY. Terakhir, SBY menganggap segala model pembangunan mesti bisa membentuk kolaborasi dan kemitraan. "Lewat cara ini, kita bisa memastikan ketersediaan dana yang dibutuhkan untuk mendukung kebijakan dan implementasi strategi pemberantasan kemiskinan."
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS