Halaman

Mimpi Indonesia


Selasa, 26 November 2013 | 02:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wahyu Dhyatmika, wahyu_komang@tempo.co.id


Sejak lima tahun terakhir, sejumlah lembaga beramai-ramai membuat berbagai skenario kebangkitan Indonesia sebagai negara maju pada 2020, 2030, bahkan 2050. Menurut berbagai prediksi itu, jika pertumbuhan ekonomi negeri ini konsisten dalam trennya sekarang, dalam 10-20 tahun Indonesia akan menjadi negara yang kekuatan ekonominya masuk sepuluh besar dunia.



Sebagai sebuah proyeksi, berbagai perkiraan itu sah saja. Apalagi jika dimaksudkan sebagai pemacu agar orang Indonesia bekerja lebih keras demi mewujudkan era keemasan itu. Tapi ada satu hal yang menurut saya agak mengganggu. Semua proyeksi itu cenderung menganggap model pembangunan kita saat ini sudah ideal.



Padahal model yang ada sekarang menyisakan banyak pertanyaan menyangkut kualitas pembangunan: siapa yang paling diuntungkan dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kita? Apakah meningkatnya nilai produk domestik bruto (GDP) dan pendapatan rata-rata per kapita penduduk Indonesia, misalnya, menjamin berkurangnya kesenjangan sosial?



Apa gunanya pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-8 persen per tahun jika produk utama Indonesia masih tak beranjak dari komoditas sumber daya alam, seperti kelapa sawit dan batu bara? Apakah kita masih punya masa depan untuk bersaing secara global jika telepon pintar, komputer, tablet, mobil, dan semua perangkat teknologi canggih yang kita pergunakan sehari-hari masih diimpor dari negara lain?



Kebetulan bulan lalu saya menghadiri diskusi yang menghadirkan pembicara yang amat menarik soal topik ini: Gindo Tampubolon, peneliti dari Institute for Social Change, di University of Manchester, Inggris. Dia punya teori menarik soal tingkat kemajuan sebuah negara yang bisa menjawab sederet pertanyaan di atas.



Gindo membuat sebuah matriks yang membandingkan perkembangan riset dan kemajuan inovasi sejumlah negara Asia. Secara spesifik, dia menelisik riset di bidang teknologi komunikasi dan informasi, nanoteknologi, bioteknologi, dan energi terbarukan. Empat bidang ilmu itu dipilih karena berpotensi menyediakan jawaban untuk krisis global akibat perubahan iklim yang akan mengubah wajah dunia kita. Negara yang unggul di empat area ini punya potensi mendominasi percaturan internasional.



Indikator keunggulannya simpel saja: berapa banyak hak paten yang didaftarkan oleh negara-negara di Asia untuk empat bidang riset tadi dan bagaimana kualitas paten tersebut? Pendaftaran paten itu hanya akan dihitung jika dilakukan di negara yang standardisasinya diakui, yakni negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Sedangkan kualitas dinilai dari berapa banyak lembaga yang memanfaatkan paten itu (bisa membeli, mengutip, mengembangkan, dan lain-lain).



Hasilnya tak terlalu mengejutkan. Tiga negara selalu ada di posisi teratas: Jepang, Cina, dan Korea. Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin ini juga tak terlalu mengejutkan: pada matriks yang dibuat Gindo, posisi Indonesia nyaris tak terbaca. Riset dan inovasi kita di empat bidang ilmu yang bakal mengubah dunia di masa depan itu, amat jauh tertinggal dibanding tetangga-tetangga kita di Asia.



Penyebabnya terutama rendahnya insentif untuk melakukan riset di sini. Kalau begini, rasanya mimpi Indonesia 2030 jangan-jangan akan berhenti sebatas mimpi saja.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Mimpi Indonesia"

Posting Komentar