Halaman

Surplus Golongan, Defisit Karya



Rabu, 27 November 2013 | 02:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Arya Budi, peneliti Pol-Tracking Institute

Sebagai partai mapan dengan elektabilitas konstan dua digit, dinamika internal Golkar dalam rapat pimpinan nasional yang lalu akan berpengaruh terhadap dinamika politik nasional. Paling tidak, ada empat kekuatan yang terekam media di dalam lingkup internal Golkar: Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Agung Laksono.

Dinamika ini bukan hanya terkait dengan pencalonan presiden oleh Golkar yang bisa berpotensi ganda-penguatan atau justru pelemahan Ketua Umum-tapi juga dengan peta sikap politik Golkar terhadap kandidat calon presiden yang maju pada 2014. Kekuatan politik Golkar menjadi penting apakah mendukung atau memilih beroposisi. Walaupun, dalam sejarah sikap partai, Golkar hampir selalu memilih "ikut" duduk di Istana daripada hanya kuat di parlemen.

Kini, apakah Golkar menciptakan jalannya sendiri melalui pengajuan Ical sebagai calon presiden yang dideklarasikan pada pertengahan 2012 lalu. Peta golongan faksi-faksi yang bermunculan di media jelas semakin mendestruksi Golkar setelah rapimnas, jika tidak ada akomodasi kepentingan. Atau, Golkar semakin terlelap dalam glorifikasi dirinya sebagai partai paling tua dan mapan.

Di sisi lain, di luar problem internal yang selalu bersifat turbulen dan terus menjadi duri dalam daging Golkar, lawan Golkar saat ini sebenarnya adalah "Partai" Jokowi. Yaitu, para pemilih mengambang, pemilih apatis, dan undecided voters yang mengerubungi Jokowi secara sukarela.

Dalam banyak pengalaman negara demokratis, partisipasi politik dalam pemilu sangat ditentukan oleh hadirnya promising candidate dengan karakter kebijakan yang dimiliki (Ashenfleter dan Kelley, 1975). Kandidat yang mempunyai portofolio kebijakan tentu akan menciptakan atensi di tengah apatisme publik terhadap proses elektoral. Di sisi lain, personalitas Jokowi seolah menjadi oasis di tengah kering gersangnya kepemimpinan otentik. Singkatnya, Jokowi menjadi pemobilisasi pemilih untuk menggiring pemilih hingga PDIP memperoleh suara yang cukup (threshold 20 persen) dalam pencalonan Jokowi sebagai presiden. Lawan Golkar-dan partai politik peserta pemilu lainnya-adalah para promising candidate yang juga kader partai seperti Jokowi saat ini.

Pada sisinya sebagai sebuah organisasi partai, Golkar telah bergerak dari sebuah partai hegemonik yang berorientasi untuk menjaga program pembangunan negara (developmentalist) ke sebuah partai yang berorientasi pasar (baca: pemilih) yang disebut sebagai market-oriented party, bahkan sejak akhir kepemimpinan Harmoko (Rully Chairul Azwar, 2009). Artinya, semua program, sikap politik, dan maneuver Golkar adalah untuk menyasar atensi pemilih, bukan lagi soal realisasi AD/ART Bab V tentang Doktrin, Ikrar, dan Paradigma Golkar. Artinya, lepas dari konsepsi ideal pelembagaan partai apakah menerjemahkan ideologi ke dalam program atau sikap politik lebih dulu, pilihan Golkar untuk menerjemahkan aspirasi/tuntutan publik masih belum mampu menarik atensi publik dibandingkan dengan kekuatan hadirnya promising candidate dalam Pemilu 2014.

Sebagai refleksi perbandingan, karakter kepartaian Indonesia, terutama Golkar, bisa melihat pengalaman di Meksiko. Pemilu presiden Meksiko 2012 kembali dimenangi oleh Enrique Peña Nieto dari Partido Revolucionario Institucional (PRI). PRI adalah partai yang menguasai Meksiko di bawa model kepemimpinan diktator selama beberapa dekade (1929-2000), partai yang awalnya dihukum rakyat pada pemilu tahun 2000 karena memerintah dengan tangan besi. Penjelasan atas kemenangan PRI di Meksiko ini adalah dua hal: transformasi PRI sebagai organisasi partai dan persepsi negatif publik terhadap keamanan serta pembangunan Meksiko di bawah kepemimpinan Partido Acción Nacional (PAN). PAN hadir pada 1938 sebagai partai oposisi melawan PRI yang monolitik hingga akhirnya Vicente Fox asal PAN memenangi pilpres Meksiko pada 2000.

Singkat cerita, Golkar bisa saja meniru PRI di Meksiko dengan transformasi ganda. Pertama, Golkar perlu mentransformasikan pesan-pesan platform pembangunan atau developmentalisme yang menjadi kosakata paranoid sejak kejatuhan Soeharto seperti transformasi GBHN, Repelita, dan lain-lain dalam model program-program yang lebih kompatibel dengan tuntutan akselerasi pembangunan dan demokratisasi saat ini.

Kedua, Golkar harus mentransformasikan partai sebagai sebuah organisasi politik yang demokratis, terbuka, dan akuntabel sehingga paling tidak bisa meminimalkan pesan koruptif dan transaksional yang melekat di Golkar. Paradigma baru yang digagas era Akbar Tandjung untuk beradaptasi dengan tuntutan demokratisasi setelah 1998 belum cukup untuk mentransformasikan Golkar sebagai sebuah organisasi partai.

Jika Golkar hanya memanfaatkan sisa-sisa basis pemilih Orde Baru, jejaring kader para patron Golkar di kino-kino dan organisasi sektoral, serta berusaha mengais para undecided voters melalui mekanisme transaksional, maka Golkar tak akan lebih dari sebuah golongan, dan gagal menjadi partai transformatif. Atau, surplus golongan namun defisit karya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Surplus Golongan, Defisit Karya"

Posting Komentar